Minggu, 04 Mei 2014

Proses Alih Teknologi di Indonesia

Definisi Alih Teknologi yaitu pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan, atau orang, baik yang berada dilingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri dan sebaliknya.

Kemampuan nasional suatu negara untuk mengembangkan kapabilitas teknologi banyak ditentukan oleh upaya teknologis, perlengkapan modal, dana dan kualitas sumber daya manusia, serta keterampilan teknis dan organisatoris untuk menggunakan unsur-unsur di atas secara efektif dan efesien. Berbagai usaha yang dilakukan seringkali terbentur pada kendala faktor-faktor yang bersifat struktural seperti penguasaan teknologi, kualitas sumber daya manusia, prasarana fisik, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal, kemampuan suatu negara untuk mengembangkan kapabilitas teknologi banyak ditentukan oleh upaya teknologis, perlengkapan modal, dana, kualitas sumber daya manusia, serta keterampilan teknis dan organisatoris, untuk menggunakan unsur-unsur tersebut secara efektif dan efisien.

Kondisi tersebut menuntut partisipasi aktif seluruh pihak yang terlibat dalam pengembangan, pengkajian dan alih teknologi baik dari kalangan akademisi (perguruan tinggi), dunia usaha, industriawan, maupun pemerintah untuk bersama-sama melakukan kajian terhadap faktor-faktor tersebut secara lebih intensif, sehingga dapat menghasilkan rancangan strategi pengembangan industri dan teknologi yang memiliki daya saing tinggi baik secara nasional, regional maupun global.


Konsep Alih Teknologi

Secara sederhana, konsep alih teknologi dapat diartikan sebagai salah satu cara untuk memperoleh kemampuan teknologi, di mana saluran yang dapat dipakai juga bermacam-macam. Sebagai contoh: alih teknologi dapat dilakukan dengan cara penanaman modal asing, memalui berbagai perjanjian bantuan teknis dan manajerial, melalui tukar-menukar tenaga ahli, melalui buku-buku, dan sebagainya.

Konsep alih teknologi dipahami secara berbeda-beda, seperti juga konsep kemampuan teknologi. Santikar (1981) menunjukkan bahwa ada empat macam konsep alih teknologi, di mana masing-masing konsep membutuhkan kemampuan teknologi dan pendalaman teknologi yang berbeda-beda. Keempat konsep alih teknologi tersebut adalah:


  • Alih teknologi secara geografis. Konsep ini menganggap alih teknologi telah terjadi jika teknologi tersebut telah dapat digunakan di tempat yang baru, sedangkan sumber-sumber masukan sama sekali tidak diperhatikan.
  • Alih teknologi kepada tenaga kerja lokal. Dalam konsep ini, alih teknologi terjadi jika tenaga kerja lokal sudah mampu menangani teknologi impor dengan efisien, yaitu jika mereka telah dapat menjalankan mesin-mesin, menyiapkan skema masukan-keluaran, dan merencanakan penjualan.
  • Transmisi atau difusi teknologi. Dalam konsep ini, alih teknologi terjadi jika teknologi menyebar ke unit-unit produktif lokal lainnya. Hal ini dapat terjadi melalui program sub-contracting atau usaha-usaha diseminasi lainnya.
  • Pengembangan dan adaptasi teknologi. Dalam konsep ini, alih teknologi baru terjadi jika tenaga kerja lokal yang telah memahami teknologi tersebut mulai mengadaptasinya untuk kebutuhan-kebutuhan spesifik setempat ataupun dapat memodifikasinya untuk berbagai kebutuhan. Pada kasus-kasus tertentu yang dianggap berhasil, tenaga kerja lokal dapat mengembangkan teknik-teknik baru berdasarkan teknologi impor tadi.


Kondisi Alih Teknologi di Indonesia

Perwakilan dari Lembaga Riset dan Pengabdian Masyarakat (LRPM), Universitas Presiden menyampaikan masih kekurangan sumber daya, sehingga masih fokus pada pengajaran saja, sedangkan untuk alih teknologi, belum ada mekanisme yang jelas, yang pasti, adalah kalau ada hasil dari litbang harus masuk seluruhnya ke dalam yayasan dan keluarnya sulit.

Sementara perwakilan dari LP3M Institut Teknologi Indonesia (ITI), Abu Amar, menyampaikan bahwa alih teknologi di ITI sudah berlangsung cukup lama dan sudah banyak dilakukan berfokus pada permasalahan langsung yang bisa aplikatif ke masyarakat. Sehingga belum banyak paten yang dihasilkan, namun hasil litbang yang telah mendapat paten,  justru tidak teraplikasikan karena industri tidak tertarik untuk membeli.

LRPM Universitas Nasional sendiri baru aktif tahun 2010. Mengenai alih teknologi kebanyakan yang dilakukan sebatas  publikasi dan konsultasi sama halnya dengan UPH dan Unisma Bekasi. Dengan adanya sosialisasi mengenai PP 20/2005 tentang adanya kewajiban melakukan alih teknologi untuk pemakaian dana pemerintah maka UPH juga seharusnya ke depan mengarah ke sana. Mengenai royalti, masih belum ada peraturan yang mengatur mengenai hal tersebut.

Bank Dunia baru-baru ini mengumumkan hasil perhitungan terbaru Produk Domestik Bruto (PDB) negara-negara di dunia. Pada tahun 2005 PDB China mencapai US$ 2,2638 triliun dan menempatkannya sebagai negara dengan besaran ekonomi nomor empat dunia, menggeser Inggris.

Di urutan pertama AS, diikuti Jepang dan Jerman. Sebuah lembaga konsultan bisnis, Goldman Sach memperkirakan PDB China akan melampaui Jerman pada 2010, melampaui Jepang pada 2015 dan melampaui AS pada 2040.

Negara Asia lainnya, India juga tinggi pertumbuhan ekonominya. Diperkirakan pada 2015 PDB India akan mengalahkan Italia; tahun 2020 mengalahkan Prancis dan mengalahkan Jerman pada tahun 2025. India akan mengalahkan PDB Jepang antara 2030 dan 2035, serta mengalahkan PDB AS pada 2040.

Di tahun 2040, China dan India akan tampil sebagai kekuatan terbesar ekonomi dunia. Pusat ekonomi dunia tidak lagi di Eropa atau Amerika, tapi di Asia; tidak di negara maju tapi di bekas negara berkembang yang mampu mengubah dirinya menjadi sejahtera. Kita menyaksikan kebangkitan China dan India, melengkapi sejarah sukses Jepang, Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Sepatutnyalah Indonesia mengambil peran signifikan dalam tampilnya Asia sebagai pusat pertumbuhan dunia, mengingat modal yang kita miliki amat besar; baik berupa SDA yang melimpah dan jumlah penduduk yang akan menjadi nomor tiga di tahun 2030. Kita harus serius merancang dan membangun masa depan negara kita dalam percaturan ekonomi dunia.


Peran Pemerintah Dalam Proses Alih Teknologi

Peran pemerintah dalam hal ini lembaga terkait yaitu Kementrian Hukum dan HAM melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional adalah merumuskan peraturan pemerintah sebagai acuan pelaksanaan untuk Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.
Peran pengawasan dan pelaksanaan dilakukan oleh unit dari Kementrian Hukum dan HAM yaitu Dirjen HKI lebih khusus lagi Direktorat Paten. Setiap kontrak lisensi paten harus didaftarkan kepada Direktorat Paten. Namun pada praktek pelaksanaannya belum maksimal. Masih sangat sedikit kontrak lisensi paten yang didaftarkan. Sehingga proses pemantauan terhadap kontrak itu sendiri masih sangat sulit.  
Secara umum dalam proses alih teknologi ada 5 pihak yang terkait, yaitu[2]:
a.    Pemilik teknologi sebagai pihak yang memberi teknologi
b.    Negara pemilik teknologi
c.    Penerima teknologi
d.   Negara penerima teknologi
e.    Lembaga-lembaga internasional / PBB

Mengingat teknologi sudah menjadi komoditi yang dibutuhkan oleh semua negara maka peranan organisasi dan masyarakat internasional menjadi lebih menonjol. Untuk itu maka pelaksanaan diawali dengan mengungkap posisi dari masyarakat internasional. Kemudian disusul dengan posisi pemilik teknologi  dan penerima teknologi dan penerima teknologi dan akhirnya dibahas posisi pemilik dan penerima teknologi, masing-masing dikupas segi-segi peluang yang dapat diperoleh dan resiko yang harus dihadapi. Pada suatu kontrak timbul kebutuhan hubungan kontraktual, yaitu adanya konsensus selanjutnya dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis.

Untuk itu pemerintah ikut campur dalam perkembangan hukum perjanjian diantaranya melalui perundang-undangan, kebijaksanaan, kerjasama bilateral atau multilateral dengan negara lain dan sebagainya. Penanaman Modal Asing (PMA) yang bergabung dengan Perusahaan Nasional dalam bentuk usaha Joint Venture. Kontrak lisensi paten yang diadakan antara pemilik teknologi dengan penerima teknologi diawali dengan penawaran dari pemilik teknologi kepada penerima teknologi.


Kesadaran Masyarakat Dalam Alih Teknologi

Sejak awal kelahirannya pada masa Pencerahan, teknologi telah menghancurkan mitos-mitos dan pola pikir masyarakat tradisional yang dibatasi oleh berbagai legitimasi tradisi kebudayaan seperti mitologi, teknologi, filsafat, yang semuanya berfungsi integratif. Pola tersebut disadari sebagai ideologi dalam fungsi distorsif karena bertentangan dengan kepentingan Pencerahan yang melahirkan berbagai penemuan yang menjadi cikal bakal Revolusi Industri. Ideologi yang kemudian muncul sebagai legitimasi baru mengganti pola tradisional dengan pola modern yang membentuk sistem integrasi sosial baru, yakni sistem kapitalisme liberal yang mendasarkan diri pada mekanisme pasar bebas dan serangkaian prinsip tentang kebebasan lainnya. Negara-negara yang menguasai teknologi mulai mengadakan ekspansi dan intervensi yang didorong oleh kepercayaan bahwa ilmu dan teknologi adalah solusi berbagai masalah. Negara-negara tersebut mendasarkan diri pada teknologi sebagai legitimasi kekuasaan teknokratis. Dengan demikian, bentuk integrasi sosial yang terjadi adalah masyarakat teknokratis yang memperluas dan melestarikan kekuasaannya melalui teknologi. Dalam masyarakat teknokratis itu hubungan antarmanusia dipermiskin menjadi hubungan instrumental dan dengan demikian mengabaikan nilai-nilai komunikatif manusiawi.

Oleh karena itu, dalam upaya pengembangan dan alih teknologi, kita perlu mengadakan refleksi apakah teknologi itu kemudian muncul sebagai ideologi, sikap, cara dan gaya hidup, yang melakukan infiltrasi, penetrasi atau bahkan invasi terhadap orientasi nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa kita. Refleksi dan orientasi itu mesti diwujudkan pula dalam kesadaran sedemikian rupa agar ilmu dan teknologi dapat disikapi sebagai kenyataan budaya yang sangat berharga dan dibutuhkan dengan tetap mempertahankan fungsi dan peranannya sebagai sarana demi kepentingan manusia seperti disarankan Soerjanto Poespowardojo ( 1989:86 ): “Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan teknologi, kesadaran religius, budaya, dan ilmiah perlu ditanamkan dan dinyalakan, karena dengan demikian orang mendapatkan motivasi kuat untuk menentukan sikap dan menjalankan kegiatannya secara terbina dan terarah.”

Menyadari kemampuan metamorfosa teknologi sebagai ideologi, Farid Ruskanda ( 1989 ) mengusulkan penambahan ideoware ke dalam rangkaian technoware (peralatan), infoware (informasi), humanware (sumber daya manusia), dan orgaware (organisasi). Ideoware merefleksikan ideologi dan cita-cita pembangunan suatu bangsa secara operasional dalam proses pengembangan, pengalihan maupun pengendalian perkembangan teknologi.


Peran IT Dalam Alih Teknologi

Pemanfaatan atau implementasi teknologi dalam alih teknologi akan memberikan dampak yang cukup signifikan bukan hanya dari efisiensi kerja tetapi juga terhadap budaya kerja baik secara personal, antar unit, maupun keseluruhan institusi.

Berdasarkan strukturnya, pemanfaatan teknologi informasi diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu:


  1. Perbaikan efisiensi : Pemanfaatan teknologi informasi untuk perbaikan efisiensi diterapkan pada level operasional organisasi. Pada kategori ini, pemanfaatan teknologi informasi diukur dengan penurunan waktu dan biaya proses.
  2. Perbaikan efektivitas : Pemanfaatan teknologi informasi untuk perbaikan efektifitas diterapkan pada level manajerial organisasi. Pada kategori ini, pemanfaatan teknologi informasi diukur dengan kemudaan dan kecepatan memperoleh status pencapaian target organisasi.
  3. Strategic Improvement : Pemanfaatan teknologi informasi untuk strategic improvement (perbaikan daya saing) diterapkan pada level eksekutif organisasi. Pada kategori ini, pemanfaatan teknologi informasi diukur dengan kemudahan dan ketepatan pengambilan keputusan oleh eksekutif.




SUMBER :